Biro Hukum, Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Cabang Badung

  • Oleh: idibadung
  • Dibaca: 55424 Pengunjung
Biro Hukum, Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Cabang Badung

Oleh: Dr. I Wayan Artana, SH., M.Biomed. Biro Hukum, Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Cabang Badung.

 

Kehidupan sosial antar manusia terjadi karena oleh hal yang mendasar berupa kebutuhan. Abraham Maslow mengatakan pemenuhan kebutuhan terjadi secara bertingkat (hierarki) dari kebutuhan yang paling mendasar hingga yang tidak terlalu krusial. Adapun kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah:

1.      Kebutuhan Fisiologis/ Dasar

Pada tingkat yang paling bawah ini merupakan kebutuhan yang harus ada (mendasar) untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Contoh dari kebutuhan fisiologis ini adalah: sandang / pakaian, pangan / makanan, papan / rumah, dan kebutuhan biologis seperti buang air besar, buang air kecil, bernafas, seks, dan lain sebagainya;

2.      Kebutuhan Keamanan dan Keselamatan

Keberhasilan memenuhi kebutuhan dasar manusia karena keinginannya akan berusaha memenuhi kebutuhan akan rasa aman atau keselamatan (safety needs). Keamanan ini meliputi aman dalam mempertahankan terpenuhi kebutuhan primernya dan keamanan diri kedepannya. Kebutuhan ini menampilkan diri dalam kategori kebutuhan akan kemantapan, perlindungan, kebebasan dari rasa takut, cemas dan kekalutan; kebutuhan akan struktur, ketertiban, hukum, batas-batas, dan sebagainya. Orang yang merasa tidak aman akan bertingkah laku seakan-akan selalu dalam keadaan terancam bencana besar. Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan inilah yang mendorong manusia membuat peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan, membuat sistem asuransi, pensiun, dan sebagainya;

3.      Kebutuhan Sosial.

Manusia sebagai mahluk sosial, berhubungan dengan manusia lainnya merupakan suatu kebutuhan. Hal ini mencakup kebutuhan akan rasa memiliki-dimiliki, saling percaya, cinta, dan kasih sayang. Kebutuhan sosial ini digunakan untk pemenuhan psikologis (emosi/rasa);

4.      Kebutuhan Penghargaan

Manusia setelah dapat memenuhi kebutuhan di atas, membutuhkan identitas diri dalam hubungan sosialnya. Identitas diri (persepsi diri/penilaian diri) merupakan kebutuhan untuk dapat mendudukkan dirinya dalam kelompok. Mereka menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri (estem needs). Maslow membedakan kebutuhan ini menjadi kebutuhan akan penghargaan secara internal dan eksternal.  Internal mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Eksternal menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri. Dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik.

5.      Kebutuhan Aktualisasi Diri

Manusia merupakan mahkluk yang humanis (humanity), sehingga mempunyai kebutuhan untuk bertumbuh, berkembang, dan menggunakan kemampuannya untuk memenuhi dirinya (aktualisasi diri). Maslow juga menyebut aktualisasi diri sebagai hasrat untuk makin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa menurut kemampuan yang dimiliki.

Teori kebutuhan Maslow di atas bila dikaitkan dengan hubungan sosial dokter-pasien (transaksi teraupetik) dapatlah dipandang sebagai kebutuhan akan keamanan dan keselamatan. Hubungan dokter-pasien merupakan interaksi diantara para subyek hukum yaitu pasien disatu sisi dan dokter  di sisi lainnya. Mengacu kepada kebutuhan akan keamanan dan keselamatan masing-masing subyek hukum seyogyanya memahami norma-norma hukum yang berlaku kepada dirinya. Seperti yang dikatakan oleh Hermien Hadiati Koeswadji (2002) hukum pada dasarnya berfungsi sebagai:

1.      Untuk membentuk hukum baru;

2.      Memperkuat hukum yang sudah ada;

3.      Memperjelas batas ruang lingkup dan fungsi hukum yang sudah ada.

Pada kaitannya dengan transaksi teraupetik dokter-pasien masing-masing pihak sebaiknya memahami peran masing-masing, dalam hal ini mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak. Permasalahannya adalah, biarpun masing-masing pihak ‘sudah menyadari’ tentang hak dan kewajibannya akan tetapi, masih ada terjadinya permasalahan hukum dokter-pasien, yang tidak jarang berakhir di meja peradilan. Untuk itu dalam tulisan ini akan dibahas permasalahan: Bagaimanakah pertanggungjawaban dokter praktek pribadi dalam transaksi teraupetik?.

 

A. Komunikasi Dokter-Pasien

Dalam kehidupan sehari-hari intensitas interaksi dokter-pasien tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan terhadap saling memberi dan menerima informasi, sehingga mereka melakukan komunikasi dalam kegiatan pelayanan kesehatan. Pada komunikasi pasien-dokter ini dimaksudkan adalah komunikasi dokter dengan pasien dalam  melakukan praktik kedokterannya. Artinya dalam komunikasi ini ada unsur dokter, pasien, pesan, media, dan umpan balik. Hubungan pasien-dokter akan berjalan dengan baik dan lancar bila dilakukan kedua belah pihak merasa puas. Sebagai sorang profesional dalam memberikan jasa pelayanan kesehatan, dokter dengan  ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya akan berusaha memberikan pelayanan melalui komunikasi yang baik. Untuk memahami apa itu komunikasi yang baik, perlu kiranya dipahami dulu apa yang dimaksud dengan komunikasi.

Susanto seperti disitir oleh Komalawati mengatakan bahwa komunikasi dimulai sebagai suatu kegiatan pra-integrasi di antara para pihak. Dikaitkan dengan hubungan dokter-pasien, suatu komunikasi sudah dimulai saat pasien mendaftarkan diri untuk bertemu dengan dokternya. Komunikasikan juga diartikan oleh sebagai penerimaan, pengolahan, penyimpanan informasi, dan menghasilkan informasi kembali. Komunikasi di sini dimulai dari penyampaian pesan oleh komunikator melalui suatu media, diterima oleh komunikan. Oleh komunikan pesan yang berupa simbol-simbol bahasa akan dipahami atau dipersepsikan menurut dirinya sendiri. Hasil dari suatu persepsi akan memberikan suatu reaksi dari komunikan terhadap pesan tersebut (interaksionisme simbolik). Jawaban oleh komunikan akan merupakan suatu pesan balik yang diterima oleh komunikator. Keadaan ini dalam kelompok Hegelian  terkenal dengan sebutan tesis-anti tesis-sintesis.

Pesan kesehatan yang ada dalam hubungan dokter-pasien adalah ‘tidak seimbang’. Dokter dalam ilmu kesehatan memiliki tingkat pengetahuan dan ketrampilan di atas rata-rata pasien. Akibatnya, pasien secara teoritis akan ‘menerima’ saja apa yang disampaikan oleh dokter. Akan tetapi, pada era komunikasi-informasi ini segala informasi-informasi kesehatan sudah tersedia dengan luas di media sosial. Pasien sudah disuguhkan materi-materi kesehatan oleh media sosial yang belum tentu benar. Akibatnya, bila pasien tidak jeli tentang informasi tersebut, bisa berakibat tidak baik pada hubungan dokter-pasien. Pasien akan merasa sudah tahu dan memahami tentang kesehatan padahal, informasi tersebut belum valid kebenarannya. Disinilah perannya kuasa wacana Foucoult bahwa dalam suatu wacana ada terkandung kekuasaan. Dokter harus mampu bagaimana pada wacana yang disampaikan ke pasien mengandung ‘kuasa’ agar mau diikuti oleh pasien.

Pasien menginginkan mendapatkan informasi yang jelas terutama tentang penyakitnya. Apa yang mengakibatkan, bagaimana penangannya, apa akibat terhadap dirinya, dan yang sangat sering ditanyakan adalah berbahaya atau tidak penyakit itu. Adanya harapan yang begitu banyak dari pasien, bagi dokter tidaklah baik untuk menganggap itu sebagai suatu ‘tekanan’. Harapan pasien merupakan suatu motivasi untuk memahami tentang penyakit, minimal tentang apa yang menjadi kompetensi dokter masing-masing. Penyampain pesan kepada pasien diutamakan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan sakitnya pasien serta faktor lain yang dapat membantu kesembuhannya (komunikasi teraupetik).

Bila dilihat dari salah satu fungsinya Mulyana mengatakan bahwa pada komunikasi ada unsur menginformasikan, mendorong, mengubah sikap, keyakinan, serta mengubah perilaku, atau menggerakkan tindakan dan bisa juga menghibur (bersifat membujuk). Pada komunikasi ini komunikator menginginkan komunikan mempercayai bahwa fakta atau informasi yang disampaikannya akurat dan layak untuk diketahui (Nurhadi, 2017). Sebagai instrument, komunikasi tidak saja digunakan untuk menciptakan dan membangun hubungan, namun juga untuk menghancurkan hubungan tersebut. Tentunya dalam hubungan dokter-pasien tidak menginginkan kehancuran tapi kerjasama. Akan tetapi komunikasi yang tidak memuaskan bisa saja menimbulkan prahara.Sehingga dalam hubungan pasien-dokter, pesan yang disampaikan  secara tidak seimbang akan menghasilkan suatu pemahaman yang tidak sesuai dengan harapan. Padahal, apa yang menjadi keinginan dari dokter agar pesan yang disampaikannya dapat diterima dan dilaksanakan oleh pasien. Sehingga, apa yang diharapkan (tidak pasti) oleh pasien-dokter akan terwujud yaitu kesembuhan pasien. Ada harapan yang sama antara pasien-dokter.

 

B. Hubungan Hukum Dokter-Pasien (Transaksi Terapeutik)

Hukum merupakan salah satu  hasil olah pikir manusia untuk memenuhi kebutuhan keamanan masyarakat. karena merupakan suatu hasil olah pikir, jelaslah hukum merupakan suatu hasil budaya. Artinya, hukum merupakan pencerminan dari kehendak masyarakat. Bila dilihat dari dimensi fungsinya, hukum berfungsi sebagai pengatur kehidupan masyarakat agar mereka hidup dengan teratur. Selain itu hukum dalam fungsi negatifnya juga difungsikan sebagai alat kekuasaan atau alat pembenar dari penguasa yang otoritatif. Dikaitkan dengan hubungan dokter-pasien fungsi hukum sebagai pemberi arah dan batas-batas dalam hubungan dokter-pasien. Timbulnya hubungan hukum antara dokter dengan pasien secara  yuridis  bisa berdasarkan dua hal, yaitu  karena perjanjian dan undang-undang. Seperti dinyatakan dalam Pasal 1233 Bab I Buku III KUHPerdata, bahwa  tiap-tiap  perikatan  dapat  dilahirkan  baik  karena  perjanjian, maupun  karena  undang-undang.

Timbulnya   hubungan   hukum   antara   dokter   dengan   pasien   berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat praktek dan dokter  bersedia   untuk  melakukan   pemeriksaan   dengan dimulainya   anamnesa   (tanya  jawab  tentang  penyakitnya)  dan  dilanjutkan dengan diagnosa dan pemberian obat (Yunanto,2009). Akan tetapi, (Aziz, 2010) mengatakan hubungan hukum karena perjanjian ini terjadi antara dokter dan pasien tidak dimulai dari saat pasien memasuki tempat praktek dokter sebagaimana yang diduga banyak orang, akan tetapi justru sejak dokter menyatakan kesediaannya yang dinyatakan secara lisan (oral statement) atau yang tersirat (implied statement) dengan menunjukkan sikap atau tindakan yang menyimpulkan kesediaan; seperti misalnya menerima pendaftaran, memberikan nomor  urut,  menyediakan serta mencatat rekam medisnya dan sebagainya.

Kalau dipahami lebih mendalam, penulis mengartikan tidak setiap orang yang datang ke tempat praktek dokter akan mengadakan perjanjian teraupetik dengan dokternya, mungkin saja ada maksud-maksud lainnya. Dengan kata lain hubungan terapeutik juga memerlukan kesediaan dokter. Hal ini sesuai dengan asas konsensual dan berkontrak (Soewono, 2007). Perikatan yang timbul dari perjanjian biasanya berupa perikatan usaha (inspanningsverbintenis) bukan perikatan hasil usaha, karena didasarkan atas kewajiban berusaha, dokter harus berusaha dengan segala daya usahanya yang dibenarkan dan menurut standar profesinya untuk menyembuhkan   pasien.   Berbeda   dengan   kewajiban   yang  didasarkan pada perikatan hasil/akibat (resultaatsverbintenis)  yang mensyaratkan hasil usaha. Pada perikatan hasil maka tindakan dokter  diukur dengan  apa  yang  dihasilkannya dari  segala usaha kemampuannya bagi pasien.

  

Perikatan yang timbul karena undang-undang dalam hubungan dokter-pasien didasari oleh:

1.      KUH  Perdata  Pasal  1365  tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang menyebutkan : Setiap  perbuatan  yang  melanggar  hukum  sehingga  membawa  kerugian  kepada orang lain, maka sipelaku yang   menyebabkan  kerugian   tersebut berkewajiban untuk mengganti kerugian tersebut.

2.      KUH Perdata Pasal 1366 menyebutkan : Setiap  orang  bertanggungjawab  tidak  saja  terhadap  kerugian  yang  ditimbulkan karena  suatu  tindakan,  tetapi  juga  yang  diakibatkan  oleh  suatu  kelalaian  atau kurang hati-hati.

3.      KUH Perdata Pasal 1367 menyebutkan : Seseorang tidak saja bertanggungjawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga bertanggungjawab terhadap tindakan dari orang-orang yang  berada  dibawah  tanggungjawabnya  atau  disebabkan  oleh  barang-barang yang berada dibawah pengawasannya. Perikatan yang timbul karena undang-undang ini tidak saja mengikat seorang dokter tetapi mengenai juga seluruh masyarakat Indonesia.

Pada suatu kontrak perlu diketahui tentang asas-asas berkontrak, sahnya suatu kontrak, dan siapa boleh melakukan kontrak (transaksi terapeutik). Sahnya transaksi terapeutik, pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1320, dinyatakan ada empat syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut:

1.      Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden).

Kesepakatan secara yuridis diartikan sebagai tidak adanya kekhilafan, atau paksaan, atau penipuan (Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Saat terjadinya perjanjian bila dikaitkan dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan saat terjadinya kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan keluhannya  dan  ditanggapi  oleh  dokter.  Di  sini  antara  pasien dengan dokter saling mengikatkan diri pada suatu perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan (tanpa ada kata ‘upaya’) adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat ataupun tindakan yang sama pada pasien yang berbeda, kesembuhannya ‘tidak pasti (belum tentu)’ dapat hasil yang sama.

2.      Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan).

Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undang-undang. Hal ini didasarkan Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata   bahwa   setiap   orang   adalah   cakap   untuk   membuat perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Sedangkan orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan  pada  umumnya semua  orang  kepada  siapa undang-undang telah melarang dibuat perjanjian tertentu. Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, dan anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.

Pada Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata  Pasal  330 dikatakan bahwa belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak / belum menikah. Berarti disebut dewasa bila:

a.       Berusia di bawah 21 tahun tetapi telah menikah, atau;

b.      Berusia 21 tahun ke atas, atau;

c.       Telah menikah.

Bila seseorang berusia di bawah 21 tahun atau telah menikah dan dalam perjalanan perkawinannya pecah, maka mereka tidak kembali dan keadaan belum dewasa

3.       Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp)

Hal  tertentu  ini  yang  dapat  dihubungkan  dengan obyek perjanjian / obyek transaksi terapeutik. Pada transaksi teraupetik dokter-pasien obyek hukumnya tidaklah berupa suatu benda material akan tetapi  suatu upaya yaitu upaya penyembuhan. Oleh karena obyeknya adalah upaya penyembuhan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak boleh dijamin oleh dokter. Lagi pula pelaksanaan upaya penyembuhan itu tidak hanya bergantung kepada kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien terhadap obat tertentu, tingkat keparahan penyakit, dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah dokter demi kepentingan pasien itu sendiri. 

4.      Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak)

Suatu sebab yang sah merupakan suatu sebab yang tidak dilarang. Di dalam Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah;

a.       sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang; atau

b.      sebab yang tidak dilarang oleh kesusilaan; atau

c.       sebab yang tidak dilarang oleh ketertiban umum.

 

C. Pertanggungjawaban Dokter Dalam Hukum Perdata

Dalam pertanggungjawaban dokter dalam hukum perdata hampir semuanya berhubungan dengan tuntutan ganti rugi. Dasar daripada pertanggungjawaban tersebut adalah;

1.      Wanprestasi,

Wanprestasiberarti  ketiadaan  suatu  prestasi.    Prestasi dalam hukum perjanjian berati suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Dalam hubungan dokter-pasien wanprestasi merupakan suatu konsep yang diartikan sebagai dokter tidak memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya yang timbul dari adanya suatu perjanjian (transaksi teraupetik). Pada dasarnya pertanggungjawaban perdata itu bertujuan untuk memperoleh ganti  rugi  atas  kerugian  yang  diderita  oleh  pasien  akibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari tindakan dokter.

2.      Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)

Yang diartikan sebagai dokter telah berbuat melawan hukum, karena tindakannya bertentangan dengan azas kepatutan, ketelitian, atau sikap hati-hati yang diharapkan dari padanya dalam interaksi dokter-pasien (pertanggungjawaban berdasarkan undang-undang). Tanggung jawab karena kesalahan merupakan bentuk klasik pertanggungjawaban perdata. Hal ini diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu sebagai berikut:  

a.      Berdasarkan Pasal  1365  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata

Seorang dokter digugat oleh pasien bila dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar  hukum,  seperti  yang  diatur  di  dalam  Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Apa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum yaitu setiap tindakan atau kelalaian baik yang :

1)      Melanggar hak orang lain;

2)      Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri;

3)      Menyalahi pandangan etis yang umumnya dianut (adat istiadat yang baik);

4)      Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang seorang dalam pergaulan hidup. 

b.      Berdasarkan Pasal  1366  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata

Seorang dokter dapat pula dituntut atas dasar lalai, sehingga menimbulkan kerugian. Seperti yang tertuang dalam Pasal 1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”.

c.       Berdasarkan Pasal  1367  Kitab  Undang-Undang Hukum Perdata

Pada pasal ini dikatakan seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. Dengan demikian dokter bisa juga dituntut pembayaran ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan oleh orang lain yang diperintahkan olehnya. Pada tempat praktek dokter sering mengikutsertakan tenaga kesehatan lain ataupun tenaga lainnya. Sehubungan dengan hal itu seorang dokter harus bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh tenaga medis atau non medis seperti perawat, bidan dan sebagainya yang ada di bawah perintah dokter. Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah dokter adalah tanggung jawab dokter.

 

D. Simpulan

Dokter adalah seorang individu yang merupakan mahkluk sosial. Sebagai sorang individu dokter juga merupakan subyek hukum Mereka akan menginginkan suatu hubungan dengan subyek hukum lainnya (individu lain) untuk hidup dalam suatu kelompok. Dalam hubungan tersebut akan terjadi suatu interaksi diantara mereka. Interaksi mengakibatkan suatu pengekangan kebebasan individu karena mereka telah mengikatkan dirinya pada suatu kesepakatan atau perjanjian, sehingga mereka mau tidak mau harus memenuhi apa yang disepakati. Dalam kaitannya hubungan dokter sebagai subyek hukum dengan pasien sebagai subyek hukum lainnya, kesepakatan yang terjadi dinamakan transaksi teraupetik.

Kesepakatan ini tidaklah berupa kesepakatan akan pencapai hasil dari suatu perjanjian seperti perjanjian-perjanjian lainnya. Akan tetapi, kesepakatan antara dokter-pasien merupakan kesepakatan usaha kesembuhan dan bukan hasil kesembuhan. Artinya dokter tidak bisa menjamin bahwa pasien yang ditangani akan sembuh. Biarpun demikian, dokter tetap dapat dipertanggungjawabkan secara perdata bila melakukan wanprestasi seperti: tidak melakukan apa  yang  disanggupi akan  dilakukan, melakukan apa  yang dijanjikan tetapi terlambat, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi  tidak  sebagaimana  dijanjikan. Dalam mengajukan gugatan hukum kepada dokter bisanya perbuatan melanggar yang diajukan  harus dipenuhinya empat syarat (Soewono, 2007), yaitu:

1.      Pasien harus mengalami kerugian;

2.      Ada kesalahan atau kelalaian dokter perseorangan;

3.      Ada hubungan kausal  antara kerugian dan kesalahan;

4.      Perbuatan itu melanggar hukum.

Karena munculnya gugatan perdata kepada dokter sering diakibatkan wanprestasi, maka kesepahaman antara dokter-pasien saat terjadinya transaksi teraupetik haruslah benar-benar dipahami oleh kedua belah pihak. Agar kesepahaman tersebut berjalan baik fator komunikasi sangatlah memegang peranan. Tidak ada jeleknya komunikasi secara interaksionisme simbolik diterapkan. Komunikasi ini akan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk memahami apa yang disampaikan oleh lawan komunikasinya, sehingga tanggapan yang diberikan akan lebih banyak berdasarkan rasionalitas.

 

E. Bahan Bacaan

  • Aziz, Noor M. 2010. Laporan Penelitian Hukum tentang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit dan Pasien.Badan Pembinaan Hukum Nasional.Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI
  • Budieli Hia, 2009. Teori Kebutuhan Menurut Maslow. Tersedia di https://budishia.wordpress.com. Diunduh 10-10-2018
  • Hadiati, Hermien Koeswadji, 2002. Hukum untuk Perumahsakitan. Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per)
  • Nurhadi, Fakrul Zikri, 2017. Teori komunikasi Kontemporer. Bandung:Kencana.
  • Soewono, Hendrojono. 2007. Batas Pertanggungjawaban Hukum Malpraktik Dokter dalam Transaksi Terapeutik. Surabaya: Srikandi
  • Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
  • Yunanto, 2009. Pertanggungjawaban  Dokter dalam  Transaksi  Terapeutik (Tesis).Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.

 

Oleh: Dr. I Wayan Artana, SH., M.Biomed. Biro Hukum, Pembinaan dan Pembelaan Anggota (BHP2A) IDI Cabang Badung. Email: Wayan.artana473@gmail.com

  • Oleh: idibadung
  • Dibaca: 55424 Pengunjung

Artikel Terkait Lainnya